UU Hak Cipta Mesti Direvisi: Bedakan Menyanyi Lagu di Ruang Publik untuk Hiburan dan Komersial

Oleh: Dr Zulfikri Toguan SH MH
Ketua Sentra HKI Universitas Islam Riau
UNDANG-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menjadi dasar hukum perlindungan karya intelektual di Indonesia, termasuk karya musik dan lagu.
Regulasi ini memberikan hak eksklusif kepada pencipta, salah satunya dalam bentuk hak ekonomi yang mengatur penggunaan karya untuk tujuan komersial.
Namun, dalam praktiknya, masih terjadi perdebatan mengenai batasan komersial dan non-komersial, khususnya pada kegiatan menyanyikan lagu di ruang publik.
Secara normatif, Pasal 9 UU Hak Cipta mengatur hak ekonomi pencipta, termasuk hak pertunjukan, pengumuman, dan komunikasi kepada publik.
Lebih lanjut, Pasal 113 menetapkan sanksi pidana terhadap pelanggaran hak ekonomi tanpa izin.
Namun, undang-undang ini tidak secara tegas membedakan antara penggunaan untuk tujuan komersial dan non-komersial.
Di lapangan, masyarakat seringkali merasa terbebani dengan kewajiban izin dan pembayaran royalti, padahal kegiatan tersebut tidak memiliki motif bisnis.
Hal ini menimbulkan kesan bahwa hukum terlalu represif dan kurang berpihak pada kebutuhan sosial budaya masyarakat yang menjadikan musik sebagai bagian dari hiburan dan interaksi sosial.
Pasal-Pasal yang Perlu Direvisi
Agar hukum hak cipta lebih adil dan proporsional, beberapa pasal berikut perlu ditinjau kembali:
1. Pasal 9 ayat (2)
"Setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta."
Revisi yang diusulkan: ditegaskan bahwa kewajiban izin hanya berlaku pada penggunaan komersial.
Untuk penggunaan non-komersial (keluarga, pendidikan, kegiatan sosial-keagamaan), cukup penghormatan terhadap hak moral pencipta.
2. Pasal 10 ayat (2)
"Lembaga Manajemen Kolektif wajib menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti …."
Revisi yang diusulkan: kewenangan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dibatasi hanya pada pertunjukan dan penggunaan komersial, bukan pada aktivitas sosial non-profit.
3. Pasal 113 ayat (2) dan (3)
Sanksi pidana bagi pelanggaran hak ekonomi.
Revisi yang diusulkan: pengecualian atau penghapusan sanksi pidana untuk kegiatan non-komersial.
Pidana hanya diberlakukan apabila terdapat bukti keuntungan ekonomi atau eksploitasi komersial dari karya cipta.
Dengan revisi pasal-pasal ini, akan tercipta kejelasan hukum sekaligus keseimbangan antara perlindungan hak pencipta dan kebebasan masyarakat untuk mengakses hiburan musik secara wajar.
Beberapa komposer tetap menekankan pentingnya perlindungan hak cipta agar profesi mereka dihargai. Namun, sebagian besar setuju bahwa kegiatan non-komersial justru menjadi sarana promosi karya.
Sementara itu, masyarakat menilai kewajiban izin pada acara kecil atau kegiatan komunitas sebagai bentuk kriminalisasi hiburan.
Hak cipta adalah instrumen hukum yang lahir untuk keseimbangan, bukan perlindungan sepihak.
Revisi terhadap Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 113 UU Hak Cipta akan memberikan kejelasan: Komersial wajib izin & royalty dan non-komersial cukup penghormatan moral tanpa royalti.
Dengan demikian, hukum hadir secara proporsional, menyeimbangkan kepentingan pencipta dan kebutuhan sosial masyarakat. (*)
Tulis Komentar